Lima asosiasi pengembang perumahan yang memasok hampir 90% suplai perumahan nasional menuntut kepastian dan kejelasan mengenai Program 3 Juta Rumah. Mereka berharap dapat berdialog langsung terkait program tersebut dengan Presiden Prabowo Subianto.

Sektor properti termasuk perumahan telah memberi kontribusi besar kepada perekonomian nasional. Diantaranya menyumbang pada PDB nasional sebesar 14%, berkontribusi terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar 9%, pendapatan asli daerah (PAD) antara 35-55% dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 14-17 juta orang.
Sektor ini juga berperan dalam menurunkan angka kemiskinan sebesar 8%, serta menekan stunting seperti yang dicita-citakan Presiden Prabowo Subianto. Selain memiliki keterkaitan dengan hampir 185 industri lainnya di sektor riil, sehingga membawa dampak besar bagi bergeraknya perekonomian.
“Dengan kontribusi tersebut, sektor properti patut disebut sebagai salah satu tulang punggung ( backbone ) pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tahun ini ditargetkan mencapai 8%. Sepatutnya jika sektor ini mendapat perhatian besar dari pemerintah, bukan justru seperti sekarang diperlemah dengan stigma negatif terus-menerus,” tegas Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto dalam konferensi pers bersama empat asosiasi pengembang lainnya di Jakarta, Selasa (18/2).
Berdasarkan riset yang dilakukan REI bekerjasama dan Lembaga Manajemen Universitas Indonesia (LM UI), setiap investasi properti sebesar Rp112 triliun atau setara dengan US$7 miliar dapat memberikan kontribusi sebesar 0,56% terhadap perekonomian nasional. Setiap tahun, investasi properti di Indonesia rata-rata mencapai Rp120 triliun-Rp145 triliun.
Menurut Joko Suranto, kontribusi sektor properti itu merupakan capaian sebelum adanya Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP). Sehingga dengan kehadiran kementerian khusus perumahan, seharusnya kontribusi sektor ini lebih meningkat, karena pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memiliki program besar yakni Program 3 Juta Rumah yang sudah disampaikan sejak kampanye pemilihan presiden (pilpres) tahun lalu
“Kami dari asosiasi pengembang sejak awal menyambut gembira dan mendukung program yang mulia dan positif tersebut. Program 3 juta rumah ini merupakan bukti bahwa pemerintah baru ini menyadari bahwa sektor properti termasuk perumahan merupakan sektor yang mampu mendorong perekonomian negara dan menekan kemiskinan," kata CEO Buana Kassiti Group itu.
Diungkapkan, asosiasi pengembang dari sebelum adanya Kementerian PKP telah banyak terlibat dengan Satgas Perumahan, dimana selama beberapa bulan satgas sudah banyak mendengarkan dan belanja masalah agar nantinya pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang dibutuhkan pasar, masyarakat dan pelaku usaha agar bisa memberi manfaat kepada masyarakat terutama dalam menekan kemiskinan hingga ke pedesaan.
Namun, ketika Kementerian PKP ini sudah terbentuk, selama 3 bulan berinteraksi dan beberapa kali bertemu untuk memberikan masukan dan harapan pasar dan masyarakat, pada akhirnya harapan adanya kementerian ini dapat membuat kebijakan yang membuat situasi pasar lebih kondusif, ternyata tidak terwujud.
Justru yang muncul, ujar Joko Suranto, adalah kegaduhan- kegaduhan yang tidak perlu. Diantaranya isu pemerintah bangun rumah gratis, rencana penurunan harga rumah subsidi, penggunaan tanah sitaan koruptor untuk pembangunan rumah, rencana pembentukan central purchasing perumahan, pernyataan ada menaikkan kuota FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) menjadi 800.000 unit, munculnya tudingan 4.000 pengembang nakal, serta terakhir pelaporan terhadap 14 pengembang kepada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
"Alih-alih merumuskan kebijakan yang dapat memacu pembangunan rumah rakyat dan menyusun peta jalan ( road map ) perumahan, Kementerian PKP justru lebih memilih memicu ketidaknyaman pasar dan kegaduhan yang kontraproduktif dan mengancam tercapainya target pembangunan 3 juta rumah sesuai instruksi Presiden Prabowo,” kata Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Junaidi Abdillah.
Junaidi juga mengkritik rencana Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait menggunakan lahan koruptor yang disita negara untuk program 3 juta rumah . Menurutnya, program ini sulit dijalankan dan sekadar mimpi.
“Mengurus lahan sitaan negara dari koruptor bukan perkara mudah. Tanah koruptor harus clean and clear. Itu tidak gampang,” ungkapnya.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang dan Pemasaran Perumahan Nasional (Asprumnas) M. Syawali Priatna menambahkan, kegaduhan yang terjadi dan stigma negatif terhadap pengembang yang terus menerus dimunculkan telah mengakibatkan pengembang merasa tidak mendapatkan bimbingan dan perlindungan dari pemerintah. Selain itu juga menimbulkan citra buruk terhadap pengembang, meski pun sangat banyak pengembang yang profesional.
“Selain itu pengembang merasa khawatir akan masa depan usaha mereka, termasuk masa depan karyawan dan pekerja,” tegasnya.
Kepastian FLPP
Ketua Umum DPP Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Ari Tri Priyono juga merasakan tidak adanya kepastian usaha di sektor perumahan. Dia memberi contoh terkait kepastian penyaluran Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Dikatakan, salah satu program pemerintah yang saat ini paling realistis dan dapat diandalkan ( reliabel ) dalam mengatasi kemiskinan dan efektif mengurangi backlog perumahan adalah FLPP. Yang mendapatkan fasilitas FLPP adalah perbankan dan yang menikmati adalah masyarakat. Sebagai sebuah produk pembiayaan, kata Ary, FLPP ini diterima masyarakat karena menjadi stimulus yang meringan mereka seperti bunga KPR tetap ( fix rate ) hingga akhir tenor kredit dan uang muka yang terjangkau.
"FLPP juga telah terbukti bisa mendorong pertumbuhan nasional. Terbukti, kredit bermasalahnya ( non performing loan /NPL) hanya 1 persen atau sangat rendah sekali ,” ungkapnya.
Lima asosiasi pengembang itu mendesak agar FLPP yang sudah berjalan baik dan hanya memiliki kredit yang bermasalah sebesar 1 persen jangan dijadikan sebuah cara untuk mencari isu-isu yang tidak produktif dan terkesan mengaburkan kenyataan terhadap kinerja yang telah dilakukan Kementerian PKP dalam mendorong percepatan program 3 juta rumah.
“Bahwa saat ini program FLPP belum dijalankan, skema pembiayaan belum diputuskan, apalagi road maps/blue print termasuk rencana kerja program 3 juta rumah juga belum ada hingga saat ini,” kata Ketua Umum DPP Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Apernas) Jaya, Andre Bangsawan.
Harapan Asosiasi
Dengan situasi yang kurang kondusif tersebut, 5 asosiasi pengembang perumahan yang memasok hampir 90% dari suplai perumahan nasional tersebut mengambil sikap.
Pertama, atas problem FLPP yang belum berjalan optimal, kelima asosiasi pengembang berusaha mendorong adanya alternatif pembiayaan atas produksi rumah dengan harga setara rumah bersubsidi. Dengan begitu kepentingan dan hak masyarakat untuk memiliki hunian dapat terwujud, serta cashflow pengembang tidak terganggu.
“Beberapa bank sudah menunjukkan komitmen untuk membuat formula produk dan skema pembiayaannya,” kata Joko Suranto.
Kedua, kelima asosiasi perumahan berharap Presiden Prabowo Subianto berkenan menyampaikan langsung kepada para pelaku usaha terkait program 3 juta rumah, dan apa yang menjadi pandangan kepala negara terhadap program besar tersebut. Asosiasi pengembang berharap ada ruang dialog antara asosiasi pengembang langsung dengan Presiden Prabowo Subianto.
Ketiga, pengembang dari kelima asosiasi akan menyelesaikan proyek FLPP yang sedang berjalan, dan selanjutnya menunggu arahan Presiden Prabowo atau Ketua Satgas Perumahan atas keberlanjutan program 3 juta rumah dan FLPP.
Keempat, mendesak pemerintah agar membuat iklim dan suasana kebersamaan yang kompak. Sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto bahwa Indonesia butuh persatuan dalam melakukan pembangunan. (Rinaldi)