• 05 Nov, 2025

Oleh: Ir.Ignesjz Kemalawarta, MBA 

Program pembangunan 3 juta rumah yang dicanangkan oleh pemerintahan baru berdasarkan informasi yang diperoleh akan mengacu kepada 2 juta rumah di desa serta pesisir dan 1 juta rumah di perkotaan. 

Mengacu pada sikap untuk mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan perumahan, maka kami mencoba memberi pemikiran terkait apa saja yang menjadi kendala regulasi, kebutuhan dukungan dan tantangan ke depan untuk mendukung keberhasilan program pembangunan 3 juta rumah tersebut.

Pertama, yang menjadi tulang punggung program 3 juta rumah adalah 2 juta rumah di desa dan pesisir yang kelihatannya akan menyasar masyarakat di desil 1 sampai 3 dengan pendapatan maksimal Rp3,1 juta per bulan, biasanya berpenghasilan tetap,informal maupun masyarakat yang tidak tetap penghasilannya. 

Ada pemikiran bahwa program ini juga berusaha meningkatkan ekonomi di desa atau pesisir dengan pendayagunaan potensi tenaga kerja lokal, BUMDes,ataupun pengusaha lokal dan lebih cenderung berupa hibah /gratis kepada masyarakat yang berpenghasilan paling rendah stratanya agar bisa memiliki rumah yang lebih baik dari kondisi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) saat ini.

Untuk mendukung program ini, kami mengidentifikasihal-hal sebagai berikut. Dari sisi kendala, ada ketidaksamaan antara tupoksi pemerintah daerah (pemda) dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Otonomi Daerah (UUOD) dengan harapan pemerintah bahwa daerah harusnya berperan besar dalam mendukung program perumahan.

Untuk itu, kami mengusulkan adanya penyesuaian materi UU Otonomi Daerah sehingga tupoksi pemda berupa penanganan rumah bencana agar sejalan dan program-program pemerintah pusat dan  perumahan di daerah berjalan lancar, terlebih mengingat 2 juta rumah yang akan dibangun berada di desa dan pesisir dimana peran pemda menjadi sangat penting.

Selain itu, masyarakat yang akan dibantu sebaiknya sudah mempunyai bukti pemilikan tanah, sehingga tidak ada masalah dalam legalitas tanah maupun perubahan di kemudian hari. Kriteria masyarakat yang dibantu adalah relatif miskin,kondisi rumah sangat buruk sehingga mengganggu produktivitasnya, dan kalau berlangganan listrik maksimal 450 watt. Dalam hal ini, pemda harus mendata potensi masyarakat yang perlu dibantu agar bantuan tepat sasaran.

Jenis bantuan yang dapat diberikan bisa berbentuk bantuan renovasi atau karena masyarakat ini tidak bankable maka dengan nilai maksimal tertentu sebagai plafon maka cicilan KPR-nya ditanggung pemerintah melalui APBN sehingga membuat mereka menjadi bankable . Dalam pelaksanaannya, tergantung kebutuhan bisa renovasi atau perbaikan bagian tertentu bangunan (lantai/atap dll). Bilamana berkaitan dengan kawasan tertentu program CSR secara kasuistis dapat saja diterapkan untuk membantu masyarakat sekitar kawasan proyek tertentu pada radius tertentu.

Untuk mendukung terlaksananya program pembangunan ini, maka perlu diadakan pelatihan bagi tenaga kerja setempat dengan menggunakan lembaga swadaya yang ada, sehingga 2 juta rumah berikutnya secara bertahap sudah dapat secara mandiri dibangun oleh masyarakat desa.Pelatihan mana bisa dilakukan oleh Badan Pendidikan  dan Pelatihan REI yang sudah melatih ratusan anggota REI menjadi pengembang yang berkualitas atau lembaga/balai pelatihan kerja milik Kemenaker dan lainnya .Sementara itu, sumber dana dari APBN khususnya diperuntukkan untuk membayar cicilan KPR masyarakat yang dibantu pembangunan rumahnya.

Masyarakat menjadi lebih produktif akibat rumahnya dalam kondisi baik dan memperbesar kemungkinan kemandirian dan berpenghasilan lebih baik. Malah dalam kondisi tertentu dapat dibangun ruang untuk warung lokal sehingga masyarakat bisa mencari penghasilan selain manfaat ekonomi dengan semakin mandirinya pelaksanaan pembangunan 2 juta rumah di tahun-tahun berikutnya.

Contoh yang diadakan oleh Habitat for Humanity dapat menggambarkan hal ini menyangkut aspek peningkatan kesehatan, karena lebih well sanitized , ventilasi udara,kebersihan toilet, kesehatan mental lebih baik,memiliki kesempatan berdagang bagi yang membutuhkan dan potensial melakukan food  security  (penelitian Habitat for Humanity-Resilience Development initiatives-31 Januari 2022).

Lembaga Penjamin Konstruksi

Kedua, sasaran program ini berikutnya adalah masyarakat desil 4 dengan penghasilan maksimal Rp3.9 juta per bulan di perkotaan yang membutuhkan tempat tinggal sewa.Segmen ini tidak membutuhkan rumah milik,namun mereka perlu tempat tinggal sewa berbentuk rumah susun sewa (rusunawa) di perkotaan.

Kendalanya, tanah di perkotaan langka sehingga kemungkinan harus mendayagunakan lahan-lahan milik BUMN yang dekat dengan jalur transportasi massal (TOD). Selain itu, pencairan dana kredit konstruksi atau kredit pembangunan dilakukan saat bangunan selesai dan sudah SLF (Sertifikat Laik Fungsi), sehingga dalam hal ini dibutuhkan mekanisme penjaminan agar pembayaran ke pengembang (Perumnas atau developer swasta) bisa dilakukan sesuai termin.

Di samping itu, kemampuan sewa para penyewa rendah, sehingga dibutuhkan subsidi sewa setiap tahun untuk menutupi kekurangan pembayaran sewa.

Oleh karena itu, kami menilai perlunya pengadaan lembaga penjamin konstruksi, sehingga bilamana default akan ada yang menjamin pembayaran termin ke pengembang. Hal lain, perlu adanya penganggaran subsidi sewa melalui APBN untuk renovasi gedung-gedung kantor pemerintah yang akan ditinggal karena pindah ke IKN yang peruntukannya bisa untuk hunian karena memiliki akses baik. 

Penetapan Harga Jual

Ketiga, program 3 juta rumah ini akan menyasar salah satunya adalah segmen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) desil 5-8 dengan penghasilan maksimal Rp8 juta per bulan yang selama ini telah dibantu dengan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), sehingga segmen ini akan terus bertumbuh. Jika di 2024 realisasinya bisa mendekati 200.000 unit (data Tapera per November 2024 197.940 unit), maka tidak mustahil pada tahun depan bisa mencapai 300.000 hingga 400.000 unit.

Kendalanya ada beberapa. Antara lain belum banyak daerah yang memiliki RDTR sehingga menghambat persetujuan KKPR, di beberapa daerah pelaksanaan PBG tidak bisa online , ketersediaan tim profesional ahli belum merata di daerah-daerah, serta sumber daya manusia di daerah banyak yang belum bisa menerbitkan SLF. Untuk kendala terakhir ini, sebagai contoh tenaga ahli bersertifikat di Jakarta ada 2.600 orang, namun di Papua hanya 2 orang.

Selain itu, beberapa pemda juga tidak mau menerima penyerahan PSU sehingga membebani dunia usaha, kemudian penyerahan PSU yang dibangun pengembang ke pemda atau pemerintah pusat kadang tidak tercatat sebagai PSU.

Lalu, apa dukungan yang dibutuhkan? Untuk insentif pembelian rumah sudah cukup memadai, hanya perlu dukungan penerbitan harga jual bagi rumah tapak MBR juga dikeluarkan harga jual rumah susun (rusun) MBR secara bersamaan dan harga berlaku 5 tahun dengan inflasi 5% per tahun.

Selanjutnya, diperlukan pembenahan syarat transaksi pada nasabah yang terjerat pinjaman online (pinjol) untuk dibuat aturan khusus. Dukungan percepatan dari pemerintah daerah juga dibutuhkan terutama daerah yang belum memiliki Perda  PBG, percepatan penyediaan tim ahli,percepatan SLF di daerah-daerah, relaksasi syarat pemasaran dan PPJB (PP 12 dan PP 13 Tahun 2021).

Selain itu, percepatan penerbitan RTRW dan RDTR di daerah-daerah, Penerbitan Permen Rusun, revisi penyerahan PSU ke pemda atau instansi pemerintah penyelenggara PSU, batasan take home pay, dalam pengaturan syarat KPR dikembalikan ke gaji pokok mengingat ada tunjangan kemahalan yang berbeda di setiap daerah.

Terakhir, perlu adanya dana pendampingan pembangunan perumahan dan permukiman yang berasal dari BPJS TK/Asuransi/Dana pensiun sebagai alternatif upaya pemenuhan dana jangka panjang perumahan.

Membantu Milenial

Keempat,adalah segmen masyarakat berpengasilan tanggung (MBT) di desil 6-8 dengan penghasilan di atas Rp8 juta sampai Rp12 juta yang belum mendapat bantuan dan belum siap bersaing di pasar normal. Banyak diantara mereka adalah kaum milenial,gen Z dan kalangan di atas ini yang masih belum memiliki rumah.

Potensi kendala di segmen ini besar sekali. Padahal, kalangan milenial dan gen Z yang jumlah populasinya terus bertambah masuk sebagian besar di segmen ini. Dengan gaji sedikit di atas Rp8 juta mereka akan tidak dapat fasilitas seperti halnya rumah MBR antara lain bebas PPN, bunga 5%,DP 1%, PPh final perusahaan 1% dan sebagainya.

Karena itu, perlu didukung dengan memudahkan biaya di depan seperti bebas PPN,bebas BPHTB, uang muka (DP), bunga pasar sebesar sedikit di atas bunga MBR semisa 6% -6,5%. Disamping itu, dalam melakukan transaksi surat keterangan gaji agar menjadi syarat transaksi agar tidak dibeli pihak lain yang sesungguhnya berkemampuan cukup. 

Pasar milenial dan gen Z diharapkan akan bergerak dan menyerap produk-produk rumah sehingga backlog lebih cepat terkurangi  dan kebutuhan tempat tinggal layak terpenuhi.

Dukungan PPN DTP secara periodik

Kelima, program 3 juta rumah perlu salah satunya menyasar segmen masyarakat menengah bawah desil 9-10 dengan gaji maksimal Rp19,7 juta per bulan dan di atasnya yang sudah bisa masuk segmen pasar komersial, namun tetap perlu dukungan untuk memperkuat daya beli konsumen.

Kendala di segmen ini antara lain bergejolaknya tingkat bunga yang memengaruhi daya beli masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan PPNDTP! Pengalaman diadakannya program PPNDTP terbukti bisa mengangkat daya beli sehingga terjangkau dan terbantu. Masalahnya di pasokan yang kebetulan ketika diadakan PPNDTP produk belum siap serahterima/BAST  dan ini tidak semua proyek bisa tepat timing -nya. 

Adapun masukan kami adalah pada saat PPNDTP diterapkan sebaiknya dalam waktu total membangun rumah dan lingkungan yang umumnya selesai dalam 2 tahun untuk luasan tertentu,  sehingga baik yang rumah stok maupun rumah dalam pembangunan bisa menkmati kemudahan PPNDTP. Selain itu, PPNDTP juga dbutuhkan untuk segmen menengah atas sesuai dengan aturan sekarang sebatas Rp2 miliar untuk harga maksimal Rp 5 miliar

Dukungan yang dibutuhkan antara lain PPNDTP diadakan secara periodik untuk memperkuat daya beli konsumen. Manfaat PPNDTP bagi konsumen adalah memicu pembangunan baru, sehingga bergulirlah 185 jenis usaha ikutannya seperti produk bahan bangunan dan jutaan serapan tenaga kerja yang pada gilirannya akan meningkatkan perekonomian negara.

Penutup

Dengan adanya dukungan seperti yang kami sampaikan di atas , maka diharapkan  seluruh desil /segmen  target 3 juta rumah mendapat dukungan yang dibutuhkan secara tepat  bak di desa dan pesisir sebanyak 2 juta maupun sebanyak 1 juta unit rumah di perkotaan (terdiri dari 500.000 unit rumah susun baik sewa maupun milik dan 500.000 unit rumah tapak MBR dan MBT) dapat berjalan optimal.

Identifikasi kendala yang ada juga akan sangat membantu pemerintah dalam menyusun regulasi yang dibutuhkan.   
 

Untuk kelompok 2 juta rumah cenderung berupa rehabilitasi/renovasi /rumah yang diberikan secara gratis dari berbagai sumber seperti APBN, bantuan perusahaan ataupun CSR lokal oleh sebuah perusahaan dalam radius tertentu yang ada keterkaitan dengan masyarakat yang dibantu. Sedangkan untuk kelompok 1 juta rumah berupa rumah yang dijual dan dimiliki konsumen dengan didukung berbagai kebijakan pemerintah sesuai kebutuhan segmen /desil tersebut di atas.

Jika hal-hal ini dapat berjalan, maka tidak mustahil program 3 juta rumah di desa,pesisir dan perkotaan dapat berjalan lancar secara serentak pada semua segmen sesuai kebutuhan dukungan dan manfaatnya sesuai segmen atau desil, sehingga kesejahteraan dan ekonomi masyarakat dapat meningkat serta backlog jauh berkurang menuju Indonesia Emas tahun 2045.

*) Penulis Kepala Badan Kajian Strategis DPP REI

 

Muhammad Rinaldi